Minggu, 22 Maret 2009

PEMILU Untuk Rakyat !!! Rakyat Yang Mana…?

Beberapa hari lagi kalau tidak ada halangan tepatnya tanggal 09 April 2009 rakyat Indonesia akan melaksanakan hajat rutin lima tahun sekali yakni PEMILU, guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat/DPR Pusat maupun Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Negara, para caleg baru maupun yang lama sibuk berlomba untuk menarik perhatian masyarakat, spanduk, baliho, stiker dan foto caleg nampang dipinggir-pinggir jalan, dengan modal itu, mereka berharap dan mengemis simpati rakyat untuk dipilih pada pemilu nanti, yang mengakibatkan jalan kotor dan semrawut “belum jadi wakil rakyat saja sudah mengotori, apalagi kalau sudah jadi”. Dan banyak juga yang coba mencuri-curi start kampaye.

Berbagai macam cara dilakukan oleh para caleg, mereka yang mempunyai modal milyaran rupiah bisa muncul dan berkampanye di televisi, mengumbar janji-janji, seolah-olah mereka sangat prihatin dan sedih melihat kemiskinan serta kesulitan yang dialami rakyat Indonesia.

Sudah puluhan kali rakyat Indonesia melaksanakan pemilu tetapi, nyatanya kondisi rakyat Indonesia semakin hari, makin terjerumus dalam jurang kemiskinan, Pemilu maupun Pilkada yang menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat ternyata sangat jauh dari apa yang sudah dijanjikan, bagi rakyat terpilihnya para wakil rakyat yang duduk di DPR Daerah/Pusat, Walikota, Gubernur atau Presiden dan Wakil Presiden sekalipun, ternyata tidak membawa dampak berarti untuk rakyat, padahal pemilu telah menghabiskan uang Negara milyaran rupiah yang diambil dari pungutan pajak yang sebagian besar adalah uang dari rakyat.

Kehidupan rakyat Indonesia dari hari-kehari semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan dan kemelaratan, klas buruh Indonesia banyak yang ter PHK, dan yang bekerjapun terancam PHK serta diupah ”murah”, kaum tani Indonesia tidak mampu lagi membeli pupuk, terpaksa dan ”dipaksa” menjadi buruh tani karena tidak mempunyai tanah, kaum nelayan susah untuk membeli solar, dan hidupnya semakin berat karena mereka tanpa daya dengan alat-alat tradisionalnya, harus berebut ikan dengan perusahaan asing yang menggunakan tekhnologi tinggi di pantai-pantai tanah airnya, serta pemuda mahasiswa tidak mendapatkan pendidikan karena sudah dikomersilkan dan susah untuk dapat pekerjaan, ribuan rakyat tidak sanggup lagi untuk membayar biaya pengobatan ketika sakit, yang akhirnya dengan terpaksa harus berobat kepada ”dukun cilik” dan percaya pada air bertuah. Pengusuran pedangan kaki lima/PKL dikota-kota besar yang sebagian mereka adalah para buruh korban PHK yang mencoba untuk bertahan hidup, jadi hiasan tayangan televisi tiap harinya.

Bersamaan dengan itu pula, Pemerintah mengekspor tenaga kerja (TKI) ”murah” ke luar negeri tanpa ada usaha untuk melindunginya, banyak kejadian yang memalukan Indonesia sebagai bangsa akibat pelecehan oleh sang majikan diluar negeri, yang didapat hanya cacat dan ajal yang jadi upahnya, padahal mereka menjadi penyumbang devisa Negara paling besar kedua setelah pajak migas.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa Negara Indonesia terkenal dengan memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, Indonesia adalah negeri yang kaya raya, segala jenis barang tambang nyaris semua ada diperut bumi Indonesia, dari minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, perak, tembaga. Bahkan dengan kadar yang sangat tinggi, belum lagi dari kekayaan laut Indonesia yang juga melimpah, kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya, Indonesia juga memiliki kekayaan hutan tropis yang sangat luas. Dengan kekayaan yang sangat melimpah itu semestinya kehidupan rakyat Indonesia makmur dan sejahtera tidak ada yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan serta buta huruf yang berada didesa-desa tersebar diseluruh pelosok negeri.

Empat (4) tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 1945, Indonesia kembali masuk dalam cengkraman penjajahan (baca: colonialisme) tepatnya setelah ditandatangani perjanjian dalam Konfrensi Meja Bundar/KMB di Den Haag Belanda pada tahun 1949 oleh Moh Hatta, Indonesia dipaksa harus membayar hutang kepada Belanda, kemerdekaan yang telah mengorbankan ribuan nyawa Rakyat Indonesia akhirnya tergadaikan akibat dari para pimpinan negeri yang berwatak “kompromis”. Dan hal ini semakin diperparah dengan kudeta yang dilakukan oleh rezim orde baru pada tahun 1965, dengan mengorbankan kurang lebih tiga juta rakyat Indonesia yang tak berdosa menjadi tumbalnya. Maka sejak saat itu pula Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme, dan menjadi surga bagi Investor asing, kekayaan bumi Indonesia yang melimpah hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, bahkan sebagian besar dinikmati oleh pihak asing (baca: imperialis) dengan investor yang menjadi topengnya.

Contoh yang nyata, kekayaan bumi Papua yang menghasilkan emas di Grasberg mencapai 86,2 juta ons, 32,2 juta tembaga dan 154,9 juta ons perak, sangat disayangkan kekayaan tersebut 90% hanya dapat dinikmati oleh negara imperialis Amerika (baca: PT. Freeport) yang hampir selama 40 tahun sejak April 1967 menghisap dan menguras kekayaan bumi Papua, tetapi ironisnya Papua tergolong provinsi miskin dan mayoritas penduduk Mimika di mana PT. Freeport beroperasi, hidup di bawah garis kemiskinan, dan mereka terpaksa hidup gunung-gunung dan hutan-hutan Papua. Pemerintahpun disebutkan kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, padahal keuntungan bersih perusahaan PT. Freeport pada tahun 2002 mencapai Rp 1,27 triliun, tahun 2003 naik menjadi Rp 1,62 triliun, berikutnya melonjak menjadi Rp 9,34 triliun. (sumber: ANTARA News 21/12/08).

Di Kalimantan batu bara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun, emas 16 ton pertahun, perak 14 ton pertahun, minyak bumi 79 juta barel pertahun, namun dari sekitar 2.5 juta penduduk Kalimantan, sekitar 313.040 orang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan, di bumi Nangro Aceh Darussalam cadangan gasnya mencapai 17.1 triliun kaki kubik sampai dengan tahun 2002 hampir 70% cadangan gas di wilayah ini dikuras habis oleh PT. Arun LNG dengan operatornya PT. Exxon Mobil Oil/Amerika sejak tahun 1978, namun sangat ironis Aceh menempati urutan keduapenduduk miskin terbesar di Indonesia, sesuai dengan hasil penelitian World Bank pada Rabu, 13 September 2006. (sumber : www.hidayatullah.com)

Ironi ini sebenarnya mudah dipahami karena watak asli dari sistem ekonomi kapitalisme, yang melahirkan penjajahan dan Imperialisme, sejak tahun 1949 negeri Indonesia terjerumus dalam neo kolonialisme penjajahan model baru tetapi isinya klasik, sistem ekonomi kapitalisme yang secara fakta selalu berpihak kepada para kapitalis atau pemilik modal, pemerintahpun telah banyak melahirkan banyak Undang-Undang/UU dan Peraturan yang hanya lebih berpihak kepada pemilik modal (baca: kapitalis), tak terkecuali kepada pihak asing, dengan mengeluarkan kebijakan swastanisasi dan privatisasi, UU adalah produk dari DPR atau Peraturan Pemerintah/PP yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat, UU dan peraturan tersebut akhirnya memungkinkan pihak swasta dan pihak asing terlibat dalam pengelolaan (baca: menguasai) kekayaan milik rakyat Indonesia, sejak tahun 60 an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri(UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk dapat menguasai 49 persen saham sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN/Badan Usaha Milik Negara.

Dampak dari pengesahan Undang-Undang tersebut adalah semakin leluasanya pihak asing untuk menguasai dan merampok serta menguras habis sumber-sumber kekayaan alam negeri Indonesia yang notabene milik semua rakyat Indonesia yang seharusnya di pergunakan untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Dan pada tahun 2004 DPR telah mengesahkan tiga paket UU, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 2 tahun 2004 tentang PPHI, kesemua UU tersebut sebagai pengganti UU sebelumnya, yang ”katanya” UU sebelumnya yang dibuat pada masa Pemerintahan Bung Karno terlalu memproteksi (baca: melindungi) terhadap kepentingan rakyat Indonesia (baca: klas buruh). Dampak dari pengesahan Undaang-Undang tersebut, hilangnya jaminan atas pekerjaan dengan penerapan sistem kerja kontrak dan outsorrsing, serta hilangnya perlindungan Negara terhadap buruh nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar, yang seharusnya Negara melindungi rakyatnya sendiri.

Sifat dasar hubungan dalam sistem ekonomi kapitalisme ditentukan oleh milik siapakah alat-alat produksi..? (tanah, hutan, perairan, bahan mentah minyak, gas, batubara, emas, perak, tembaga, alat-alat perhubungan dll), milik perseorangan yang menggunakan alat-alat itu untuk menghisap kaum pekerja kah..?, ataukah milik suatu masyarakat yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan materiil dan kulturil massa rakyat/kebutuhan seluruh masyarakat?. “Perlu dipahami bahwa dasar hubungan produksi dalam sistem ekonomi kapitalis adalah hak milik perseorangan kaum kapitalis atas alat-alat produksi menjadi milik kaum kapitalis, hal inilah dasar bagi penghisapan kaum kapitalisk kepada rakyat pekerja/klas buruh, padahal klas buruh adalah kalangan yang paling menentukan dalam proses produksi, perkembangan sosial masyarakat secara umum adalah hasil kerja sosial klas buruh, butir-butir keringat dan tenaga yang diperas setiap hari tidak dihargai dengan upah yang setimpal, keuntungan dan kekayaan memusat pada segelintir pemilik modal (baca: kapitalis) saja yang mengakibatkan kemiskinan menyebar luas di berbagai ruang sosial”.

Seharusnya alat produksi seperti tanah, hutan, perairan, alat-alat perhubungan bahan-bahan mentah (minyak bumi, gas, batubara, emas, perak, tembaga dll) dikuasai dan dikelola oleh Negara/Pemerintah dan digunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat, jadi selama masih dianutnya sistem ekonomi kapitalis dalam suatu negara, maka selama itu pula akan ada penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain, dan selama itu pula akan terjadi pertentangan dalam hubungan masyarakat, antara orang yang tidak bermilik/ploretar, dengan yang bermilik/borjusi.

Jadi selama sistem ekonomi kapitalis masih dianut oleh Negara Indonesia walaupun puluhan kali pemilu dilakukan maka tetap saja kehidupan rakyat Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang berarti, dan selama para borjuasi (legislatif, yudikatif) tidak berani berkata ”TIDAK” terhadap Kapitalisme dan Kolonialisme, selama itu pula negara Indonesia hanya akan menjadi negeri setengah jajahan/setengah feodal serta hanya menjadi penyedia bahan-bahan mentah, menjadi pasar bagi produk-produk kapitalis, dan hanya akan menjadi sapi perah kaum kapitalis.

Pemilu 2009, akan menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara yang dari hasil devisa yang diperoleh buruh migran/TKI dan pajak yang diberikan rakyat kepada negara; tanpa pernah mampu untuk menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk klas buruh didalamnya. [AMM/SS]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar